– Hari Kesehatan Mental Sedunia 2021: Nasib ODGJ Di Indonesia –
Bismillah
Assalamualaykum, Pembaca Nufazee
Ada cerita unik terkait ODGJ, sebenarnya ini pengalaman teman, jadi waktu dia pulang sekolah dengan berjalan kaki, temanku berpapasan dengan ODGJ, entah bagaimana tiba-tiba temanku ini ditampar oleh ODGJ itu, kaget dan membuat temanku trauma tiap kali berpapasan dengan ODGJ.
Nah pengalaman temanku itu, pada akhirnya membuat aku ambil sikap yang sama. Tiap kali ketemu dengan ODGJ sebisa mungkin aku ambil jarak jauh, menyebrang jalan pun tak apa asal tidak, berdekatan dengan ODGJ.
Kisah itu adalah satu dari banyak kisah tentang ODGJ yang ada di sekitarku, belum lagi ada ODGJ yang hamil, yang gak pakai baju, yang joged-joged, yang kemana-mana bawa bungkusan besar sambil menceracau sendiri.
Jujur, aku sedih lihat kondisi mereka yang seperti itu. Mereka layak sembuh, sementara dunia beberapa tahun lalu belum aware dengan isu kesehatan mental, beruntung isu ini kembali mencuat apalagi berdasarkan data Kemenkes, bahwa selama Pandemi COVID-19 , sampai Juni 2020,ย tercatat ada 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia, angka ini meningkat hampir 100ribu, 2019 hanya 197 ribu orang.
Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua
Federasi Kesehatan Mental Sedunia menetapkan tema peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 Oktober yaitu Mental Health in an Unequal World : Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua.
Di Indonesia, orang dengan keadaan mental bermasalah masih dicap sebagai hal yang tabu, dikaitkan dengan klenik, dilabeli dengan persoalan kadar iman yang kurang, pada kenyataannya sakit mental gak sesederhana itu, memang sakitnya gak nampak tapi efek yang timbul bagi diri dan sekitar malah cukup rumit dan merugikan.
Lalu apa yang harus dilakukan? Sejauh mana program pemerintah dalam isu kesehatan mental masyarakat Indonesia?
Pada, Rabu, 6 Oktober 2021, aku berkesempatan hadir pada webinar yang diadakan Kemenkes, Temu Blogger dalam Rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021.
Acara yang dimoderatori Nani Indiriana, SKM, MKM tersebut menghadirkan 5 pembicara dengan materi yang cukup informatif, diantaranya, dr. Celestinus Eigya Munthe. Sp.KJ.MARS selaku Direktur P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, dengan materi Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia.
Kemudian ada Dr. Satti Raja Sitanggang, Sp.KJ selaku PDSKJI yang membawakan materi Sinergi Profesi Menuju Kesetaraan Kesehatan Jiwa untuk Semua.
Dari sisi psikologi klinis ada Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si, Psikolog selaku Ketua Umum PP Ikatan Psikologi Klinis Indonesia ( IPK Indonesia) dengan materi Kesehatan Jiwa dan Psikososial Untuk Semua ( Membangun Kesehatan Jiwa Masyarakat).
Lalu yang menarik adalah pemaparan dari Bagus Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia, dimana ia punya pengalaman lebih dari 10 tahun dampingi sang kakak yang menderita Skizofrenia. Bagus membawakan materi mengenai Kesetaraan bagi ODGJ.
Terakhir ada Romanus Ndau selaku Komisi Informasi Publik RI dengan materi Kesetaraan untuk dapatkan akses informasi.
Ini Dia Kebijakan dan Program Kesehatan Jiwa di Indonesia
Dalam beberapa minggu terakhir, agaknya kesehatan jiwa jadi makananku deh hehe, mulai dari membahas mengenai stress sampai dengan menghadiri event temu blogger bersama Kemenkes ini.
Orang yang mentalnya sehat seperti apa sih?
Nah ini ada pada pemaparan Ibu Laksmi, orang yang mentalnya sejahtera menurut WHO adalah ia dapat menyadari kemampuan atau potensi diri, mampu mengatasi tekanan kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan mampu berkontribusi dalam kelompok.
Jiwa yang sehat berarti sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial.. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan there is no health without mental health.
Gangguan jiwa ujar Pak Celestinus dimulai pada usia muda, bahkan dari grafik yang ditayangkan bermula dari usia 5 tahun, wow, yes anak-anak juga bisa stres, gak hanya orang dewasa saja.
Lalu apa upaya dalam merawat kesehatan jiwa?
Dengan cara belajar, ikut pelatihan konseling pra nikah, parenting skills training, Stress Management, dll.
Ternyata kesehatan jiwa adalah masalah dunia, ada 25% negara di dunia yang belum punya kebijakan mengenai kesehatan jiwa, 50% negara hanya punya psikiater kurang dari 1 berbanding dengan 100.000 penduduk. Fakta ini terjadi karena ketersediaan layanan kesehatan jiwa yang kurang dan masih banyak stigma, diskriminasi dan pengabaian terhadap ODGJ.
Kesehatan jiwa yang banyak menyerang usia muda, tentu berpengaruh terhadap kondisi negara, apalagi yang sedang mendapat bonus demografi.
Seperti apa sikap WHO terhadap isu kesehatan mental? Sejak 2013 WHO terbitkan Mental Health Action dengan indikator sebagai berikut.
Bagaimana Pelayanan Kesehatan Jiwa di Indonesia?
Dulu tahun 1950 pasien ODGJ diperlakukan tidak manusiawi, seperti diikat, dipasung, pasien diisolasi terlalu lama, sekarang sudah jauh lebih baik menuju RSJ Modern dimana berkonsep recreational center, bertemu teman, terapis, ambil obat dll.
Aku jadi teringat drama korea berjudul Dinner Mater, salahsatu adegannya memperlihatkan pusat kesehatan mental yang tenang, sejuk, punya taman yang rapi dan indah, pasien bebas berjalan menikmati suasana.
Dalam slide berikutnya Pak Celestinus memaparkan masalah kesehatan jiwa di Indonesia yang prevalensinya cukup tinggi sampai masalah kasus pasung memasung ODGJ, ternyata sejak tahun 2010 Indonesia punya program menuju Indonesia Bebas Pasung, karena hal ini terkait dengan hak asasi manusia.
Ngobrolin hak, dalam pemaparan Pak Bagus ada mengangkat UU Kesehatan no. 36, Pasal 4, bahwa setiap orang berhak atas kesehatan.
Penderita ODGJ pun berhak sembuh dan senang sekali pemerintah mulai berbenah dalam hal ini, seperti meningkatkan akses layanan serta bersinergi dengan berbagai pihak.
Pak Celestinus juga menghimbau, jika menemukan ODGJ berkeliaran di jalan, masyarakat juga bisa bantu untuk melaporkannya ke dinas kesehatan sosial terkait.
Dr. Satti Raja Sitanggang, Sp.KJ selaku PDSKJI yang membawakan materi Sinergi Profesi Menuju Kesetaraan Kesehatan Jiwa untuk Semua.
Tantangan Kesehatan Jiwa di Indonesia
Setelah mendengar pemaparan dari sisi pemerintah, saatnya menyimak penjelasan dari pihak nakes yang diwakili Dr. Satti Raja Sitanggang, Sp.KJ selaku PDSKJI yang membahas materi Sinergi Profesi Menuju Kesetaraan Kesehatan Jiwa untuk Semua.
Pada UU No. 18 tahun 2014, terdapat perbedaan ODMK dan ODGJ,
Untuk kedua masalah tersebut tentu treatment-nya berbeda, selain itu Dokter Satti juga menyampaikan tantangan kesehatan jiwa di Indonesia.
Rumit juga ya tantangannya, belum lagi stigma negatif yang beredar di masyarakat tentang kesehatan jiwa.
Berdasarkan website http://pdskji.org/home, 5 bulan pandemi Covid-19, infografik swaperiksa cemas, depresi, dan trauma, dari 4010 swaperiksa, 75% alami trauma, dan kelompok usia yang paling banyak mengalaminya 17-29 tahun dan diatas 60 tahun.
Sebelum mengakhiri sesi, Dokter Satti menutup dengan puisi yang indah,
Penyintas ODGJ Berhak Hidup Layak
Sesi berikutnya adalah sesi Bagus Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia, Mas Bagus memiliki kakak lelakinya yang mengidap Skizofrenia sejak tahun 1995, dan betapa sangat melelahkan dari segi uang, waktu dan tenaga dalam mendampingi salahsatu anggota keluarganya tersebut.
Oleh karena itu, Mas Bagus membangun Komunitas Peduli Skizofrenia sebagai wadah edukasi agar keluarga yang memiliki pengalaman sama seperti Bagus tidak mengalami hal sama, dimana dulu ia begitu kesulitan mendapatkan informasi valid mengenai Skizofrenia sampai sekeluarga alami masa-masa frustasi.
Adapun misi KPSI yaitu memberi dukungan kepada para pasien dan keluarganya dan mendidik pasien, perawat serta masyarakat tentang Skizofrenia juga secara aktif memerangi stigma yang ada.
Balik lagi nih ke sesi Mas Bagus, latar belakang profesi Pustakawan membuat penyampaian gagasan mengenai hak-hak disabilitas di masyarakat sangat detil disertai dasar-dasar kebijakannya.
Isu hak mantan ODGJ jarang sekali dibahas, padahal penting sebab mereka juga punya hak untuk hidup layak dan normal. Selain itu Mas Bagus juga menyinggung maraknya tren YouTuber menjadikan ODGJ sebagai objek konten, padahal hal tersebut ada sanksi dan diatur dalam UU.
Dan berikut beberapa simpulan dan saran dari Mas Bagus terkait Hak ODGJ.
Ya, semoga kedepan layanan kesehatan jiwa di Indonesia semakin baik, Aamiin.
Semoga bermanfaat!