โKegiatan menganyam ini sudah dilakukan dari generasi ke generasi. Saya sendiri adalah generasi ketigaโ.
โAda beberapa mitos tentang menganyam pandan yang membuat hampir semua wanita melayu di Desa Pantai Cermin Kanan bisa menganyamโ,
โMitos yang dimaksud seperti tidak boleh menikah sebelum bisa menganyam tikar, lalu jika sudah menikah wajib ada di rumah tinggalnya, satu tikar anyaman buatan sendiriโ, ujar Eva Herlia, Koordinator UMKM Sentra Anyaman Pandan Laut Desa Pantai Cermin Kanan
***

Sinar matahari siang di Pantai Cermin memantul di permukaan air seperti serpihan kaca yang menari. Udara terasa lembap dan asin, namun semilir angin laut tetap membawa kesejukan di antara riuh ombak yang berkejaran di bibir pantai. Di kejauhan, garis horizon tampak bergetar, seolah menyatu dengan cahaya yang menyala terik. Cuaca panas yang menggigit itu tak pernah menjadi alasan untuk berhenti bagi para perempuan tangguh penyulam pandan.
Pada sebuah bangunan sederhana, tampak beberapa ibu-ibu penganyam pandan sedang bekerja bahkan ada yang sudah sepuh, mereka kadang terlihat bersenda gurau saling sahut sahutan sembari jemari mereka menari cepat di atas pola yang sudah dihafal bertahun-tahun, sesekali bergerak menyilangkan, melipat, menekan, seolah mereka bukan hanya menganyam tikar tapi juga ketekunan dan harapan.
Di antara mereka, tampak seorang perempuan berjilbab, kira-kira berusia empat puluh tahunan. Wajah khas wanita melayu teduh dan tenang meski raut kelelahan tak bisa disembunyikan namun Eva Herlia begitu nama lengkapnya sangat sabar menjawab pertanyaan pengunjung yang penasaran dengan perjalanan usahanya.
Selama 15 tahun terakhir Eva tak hanya menjaga warisan kebudayaan anyaman tapi turut menghidupkannya kembali dengan gerakan kolektif. Di balik tiap helai pandan yang dianyam terselip keteguhan, kolaborasi dan ketulusan untuk menciptakan perubahan positif. Gerak para ibu ini mungkin sederhana tapi dampaknya melampaui batas tikar yang mereka hasilkan.
Tradisi Menganyam Pandan Yang Mengikat Generasi di Desa Pantai Cermin Kanan
Pantai Cermin yang terletak di provinsi Sumatera Utara adalah rumah bagi Eva, masa anak-anaknya tumbuh bersama riak ombak dan angin laut. Kebanyakan keluarga di pesisir, keseharian Eva kecil tak jauh dari laut: membantu ayah mencari kerang-kerangan, bermain di pasir saat matahari condong ke barat, dan menatap cakrawala sambil menunggu perahu pulang membawa rezeki.
Di balik rumah-rumah kayu sederhana, ada tangan-tangan cekatan milik para emak, begitulah Eva kecil memanggil ibunya. Mereka duduk bersila di lantai, sabar memilah, mengeringkan, dan menganyam daun pandan laut yang tumbuh lebat di sepanjang garis pantai. Dari helai-helai pandan itu, lahirlah tikar-tikar bercorak khas yang bukan sekadar alas, tapi juga warisan, cerita, dan kebanggaan.
Maka bagi Eva, anak-anak Pantai Cermin, menganyam bukan hal asing. Ia adalah bagian dari denyut hidup, sebuah keterampilan berharga yang diwariskan tanpa paksaan, hadir melalui kebersamaan, ketelatenan, dan cinta akan tanah kelahiran.
Seiring berjalannya waktu, tanaman pandan berkualitas tinggi masa itu sangat berlimpah tumbuh subur di pinggir pantai, justru malah diabaikan. Menganyam hanya sekadar tradisi yang dijalankan tanpa gairah.
Para perempuan penganyam yang sebagian besar juga istri dari para nelayan seringnya menjalani hari dengan kesabaran panjang. Usai melakukan pekerjaan rumah, siang hingga senja kadang sampai tengah malam mereka menunggu menatap laut. Harapan mereka sederhana: semoga suami pulang dengan perahu kayu tua yang penuh hasil tangkapan. Tapi tak jarang, laut memaksa nelayan pulang dengan tangan hampa, bahkan jika ada hasil tangkapan yang sedikit itu pun harus terbagi, bagi untuk dapur, bagi untuk solar dan bagi lagi untuk membayar hutang pada rentenir.

Mereka tetap menganyam, bukan hanya daun pandan, tapi juga kehidupan yang rapuhโmenjalin sabar dan doa di setiap helainya.
Ketika Eva Melihat Peluang di Tengah Alam Pantai Cermin yang Kaya
Tahun 2010 menjadi titik balik bagi Eva. Eva yang juga seorang sarjana pendidikan merasa resah dengan banyaknya bahan baku pandan dan purun namun kurang dimanfaatkan secara maksimal.
Di sela aktivitas rumah tangga dan kehidupan sebagai istri nelayan, mata Eva mulai jeli menangkap potensi yang selama ini luput dilihat banyak orang, hamparan pandan laut yang tumbuh liar di sepanjang pesisir.
Dari keresahan tersebut Eva perlahan melangkah. Ia mencari tahu, bertanya, belajar dan mencoba. Bagaimana caranya agar daun pandan yang selama ini dianggap biasa, bisa bernilai luar biasa? Bagaimana agar ibu-ibu seperti dirinya tidak hanya duduk menunggu hasil laut, tapi punya sumber penghasilan yang lahir dari tangan sendiri?
Perjalanan komunitas Kelompok Perempuan Kanan Kreatif (KPKK) pun dimulai. Melalui KPKK, Eva dan sekelompok Ibu Rumah Tangga membentuk ruang kreasi untuk melestarikan kebudayaan anyaman agar tidak punah melewati lintas generasi dan zaman.
Dalam wadah komunitas itu para remaja tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) ikut aktif terlibat kegiatan menganyam. Eva membekali mereka dengan edukasi.Pada tahun yang sama pula KPKK membangun badan usaha dengan nama Menday Gallery and Souvenir. Kata โMendayโ dalam Bahasa Melayu bermakna โbaikโ, penamaan ini seakan menjadi doa untuk usaha Eva dan benar saja lewat modal selembar tikar yang ia ubah menjadi produk turunan seperti dompet, sandal dan produk lainnya menjadi sumber rezeki bagi banyak orang di desanya. Permintaan pasar terhadap produk anyaman pandan terus berdatangan bahkan dari luar negeri.

Kemudian tahun 2013, Menday untuk pertama kalinya mempekerjakan 1 orang. Kini, Eva memiliki 35 pengrajin aktif mulai dari pengolahan bahan baku hingga produk turunan, dengan usia pengrajin paling muda yakni 15 tahun dan yang paling sepuh berusia 72 tahun.
Transformasi Desa: Pantai Cermin Kanan Bersinar Lewat Program Binaan
Dampak baik dan berkelanjutan dari peran Eva yang mendedikasikan dirinya mengurus komunitas dan juga usaha produksi kerajinan anyaman pandan membuat banyak pihak yang memiliki program pembinaan UMKM terus berdatangan mengunjungi desa.
Kunjungan demi kunjungan banyak pihak ke desa membuat warga awalnya jengah bahkan memasang stigma buruk terhadap sosok Eva. Perempuan semestinya mengurus rumah dan suami bukan sebaliknya malah sibuk di luar rumah menyambut para tamu, karena ritme hidup bersuamikan nelayan yang tidak menentu.
Beruntung Eva memiliki support system yang kuat terutama suami yang memiliki pemikiran terbuka di tengah gempuran pemikiran masyarakat fixed mindset. Dalam menjalani peran ganda tersebut, Eva juga tidak merasa harus di atas awan, ia tetap menjadi pribadi rendah hati yang tetap memegang prinsip dan paham peran sebagai istri dan ibu rumah tangga, โjangan sampai terabaikanโ, tegas Eva pada sesi wawancara via Whatsapp.
Program Kampung Berseri Astra (KBA) adalah upaya Eva dan tim mendaftarkan potensi kampungnya sehingga terpilih dan sudah 4 tahun program KBA berjalan di Desa Pantai Cermin Kanan.
Menurut Ina Inanta Boru selaku Ketua Pengurus KBA Kecamatan menyampaikan bahwa sebelum menjalani program KBA, Desa Pantai Cermin Kanan tidak tertata rapi, namun kini sejak ada kegiatan dari Astra dan menghadirkan tamu dari luar, warga desa mulai berbenah diri.
Saat ini KBA Desa Pantai Cermin Kanan merupakan salahsatu dari 27 KBA di Sumatera Utara yang mendapatkan kesempatan pembinaan oleh Astra agar menjadi kampung mandiri dengan masyarakat yang produktif, kreatif dan inovatif.
Pembinaan yang dilakukan Astra lewat Grup Astra Wilayah Medan berupa kegiatan pelatihan, pendampingan, perluasan akses permodalan, pemasaran hingga bantuan prasarana kepada tokoh penggerak untuk dibantu salurkan kepada warga sekitar.
Anyaman Perubahan, Jejak Dampak yang Tak Terhapus Waktu
Banyak cerita yang telah terajut dalam anyaman perjalanan Eva Herlia bersama para perempuan penganyam di Desa Pantai Cermin Kanan. Namun mungkin yang paling bermakna adalah perubahan cara pandang mereka terhadap hidup dan harapan.
Dulu, anyaman dibuat sekadar mengikuti suasana hati, tanpa tujuan jelas. Kini, setiap helai pandan yang dipilin menjadi tikar adalah hasil dari proses panjang, belajar memahami selera pasar, manajemen keuangan, dan arti kemandirian.
Di balik lembaran tikar, terselip kisah tentang lepasnya mereka dari jeratan rentenir, dari rasa putus asa yang dulu terasa begitu akrab. Lebih dari sepuluh perempuan kini bangkit, berdiri dengan usaha sendiri, menatap masa depan tanpa beban utang.
Inilah wujud nyata tema “Satukan Gerak, Terus Berdampak”, ketika satu langkah kecil Eva menggerakkan lebih banyak tangan untuk bersama menenun harapan, mengubah hidup, dan menorehkan dampak yang tak hanya untuk hari ini, tapi untuk generasi yang akan datang.
Di sela kisah ini, Eva menyampaikan pesan mendalam dari lubuk hati kepada sesama perempuan, โpercayalah kita semua sudah memiliki jalan masing-masing untuk menjemput rezeki, tapi jangan pernah lupa kodrat kita sebagai perempuan dan ibu. Jika kita bisa tetap berkarya di tengah rutinitas, disitulah letak nilai lebih kita sebagai perempuanโ.
Sumber tulisan :
Media Sosial Menday Gallery & Souvenir (Instagram: @mendaygalleryandsouvenir)
Wawancara via chat Whatsapp dengan Eva Herlia
https://www.indonesiaexpose.co.id/2023/10/25/kampung-berseri-astra-desa-pantai-cermin-kanan-karsa-pembinaan-perempuan-melalui-kerajinan-anyaman-pandan/ diakses pada 15 Oktober 2025
https://www.waspada.id/sumut/meninjau-program-kba-di-desa-pantai-cermin-kanan/ diakses pada 15 Oktober 2025
