Dec 21, ’10 4:28 AM
untuk semuanya |
Dalam sebuah majalah yang khusus membahas masalah-masalah sastra, penyair
kawakan Taufik Ismail pernah menjelaskan standar yang digunakannya untuk
menilai suatu karya sastra itu mengandung unsur-unsur porno atau tidak.
Cara sederhana yang diajukannya adalah dengan mengganti nama-nama tokoh
perempuan dalam karya tersebut (karena biasanya yang porno-porno selalu
berkaitan dengan tokoh perempuan) dengan nama ibu kita, kakak/adik perempuan
kita, bibi kita, istri kita, atau anak perempuan kita. Jika kita merasa
risih atau jijik dengan cerita yang dihasilkan, berarti karya itu memang porno.
Taufik Ismail bukan sekedar penyair yang gemar bermain kata-kata. Sebagai
seorang Muslim, kepenyairannya tak pernah bisa dipisahkan dari identitasnya
sebagai seorang Muslim. Karena cara berpikirnya telah terwarnai (ter-shibghah)
dengan ajaran Islam, maka responnya terhadap masalah pun sejalan dengan
pandangan Islam.
Apa yang dikatakan oleh Taufik Ismail nyaris sama persis dengan pendekatan
masalah yang digunakan oleh Rasulullah saw. ketika seseorang datang
menghampirinya untuk meminta izin berzina. Permohonan izin itu
disampaikannya terang-terangan, sehingga orang-orang di sekitarnya pun
mendengar. Mereka yang mendengar berusaha mencegahnya mendekati Rasulullah
saw., namun beliau justru menyuruhnya untuk mendekat. Setelah itu,
Rasulullah saw. membimbingnya untuk memikirkan keinginannya sekali lagi.
Bagaimana jika ada orang lain yang berzina dengan ibunya? Bagaimana jika
ada orang yang berzina dengan bibinya? Bagaimana jika putrinya diajak
berzina oleh orang lain? Jika kita tak suka ada orang yang berzina dengan
ibu, bibi atau putri kita, maka kita pun tak boleh berzina, sebab yang kita
ajak berzina pastilah ibu, bibi atau putri orang lain. Argumen ini begitu
sederhana, begitu mudah dicerna akal.
Seringkali perbuatan keji dianggap biasa hanya karena kita melihatnya dari kaca
mata โpelakuโ. Sebagai pelaku, kita hanya merasakan kenikmatan sesaat
dari perbuatan keji yang kita lakukan. Adapun konsekuensi jangka
panjangnya, apalagi dosa yang baru ketahuan akibatnya di akhirat nanti,
biasanya akan dianggap remeh.
Masalahnya akan lain jika kita menggunakan kaca mata โpengamatโ, apalagi kaca
mata โkorbanโ. Mengakses situs-situs porno mungkin terasa menyenangkan,
namun jika kita melihat para pelajar dan mahasiswa mengaksesnya di
warnet-warnet, akan terasa betul betapa keji dan menjijikkannya perbuatan
tersebut. Banyak orang senang melihat supermodel yang membuka auratnya
lebar-lebar, tapi kita tidak tahu persis bagaimana reaksinya jika putrinya
sendiri menjadi supermodel yang berbuat demikian. Ada perempuan yang jadi
istri simpanan, dan akhirnya bisa menyingkirkan istri tua dari suaminya, lalu
kemudian ia pun disingkirkan oleh perempuan yang lain lagi. Apa anehnya?
Lelaki yang mengkhianatinya kini adalah lelaki yang sama yang pernah
mengkhianati perempuan lain. Hanya saja, ia lalai mengganti โkacamatanyaโ
sebelum bertindak jauh, sehingga pada akhirnya ia terpaksa merasakan perspektif
โkorbanโ secara nyata.
Inilah sisi sekuler yang jarang dipikirkan orang. Sekularisme menghendaki
dipisahkannya agama dari kehidupan sosial manusia. Akibatnya, tidak ada
aturan yang mengikat interaksi sosial kita. Karena awalnya tidak ada
aturan, maka aturan pun diada-adakan dengan melakukan penyesuaian dari masa ke
masa, karena ia adalah sebuah produk dari akal manusia yang kapasitasnya
terbatas. Hasilnya adalah relativitas nilai. Apa yang dianggap hina
dulu bisa dianggap heroik di jaman sekarang, demikian juga hal-hal yang dianggap
mulia sekarang mungkin akan dianggap sebagai sebuah kecelakaan sejarah di masa
mendatang.
Manusia sekuler hidup dengan memisahkan dirinya dari yang lainnya, baik manusia
lain yang hidup di sekitarnya maupun manusia lain yang pernah hidup dalam
sejarah. Mereka memandang segala sesuatunya secara parsial.
Sebaliknya, Islam selalu menggunakan cara berpikir yang komprehensif,
menggunakan segala sudut pandang yang mungkin digunakan. Itulah sebabnya,
menurut ajaran Islam, manusia dibedakan derajatnya berdasarkan tingkat
ketaqwaannya, sedangkan ketaqwaan itu diwujudkan dalam ketelitian dan
kehati-hatian dalam segala sesuatunya. Orang yang bertaqwa bukan yang
tidak pernah salah atau khilaf (bahkan tak ada seorang pun manusia yang
seperti itu), namun ia pastilah orang yang sangat memperhatikan detil dari
segala tindak-tanduknya. Teliti dan komprehensif dalam segala tindakan
ini berasal dari sikap ihsan, yaitu senantiasa merasa berada di bawah
pengawasan Allah Yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Adil.
Sekularisme adalah ideologi kesepian, di mana setiap manusia hidup untuk
dirinya sendiri dan tak bisa mengharapkan pertolongan dari orang lain.
Seorang ibu tak bisa melindungi anak-anaknya dari pornografi lantaran
pemerintahnya memutuskan untuk menjadi sekuler. Mereka tahu bahaya
minuman keras dan prostitusi, tapi sekularisme mengharuskan mereka untuk hidup
โrukunโ bersamanya.
Adapun Islam, ia adalah ajaran yang selalu mementingkan kebersamaan. Apa
yang kita lakukan akan berdampak pada orang lain, demikian juga apa yang orang
lain lakukan pastilah berdampak pada kita. Islam tidak hanya melarang
zina, tapi juga melarang mendekati zina, bahkan juga melarang orang untuk
berdiam diri ketika menyaksikan perzinaan terjadi di lingkungannya.
Mencegah perzinaan dan menghukum orang yang berzina bukanlah kepentingan
pribadi per individu, karena yang dirugikan adalah seluruh elemen
masyarakat. Segala bentuk kemaksiatan senantiasa bersifat menular dan
tumbuh perlahan bagaikan virus. Islam menyuruh manusia untuk membasmi virus-virus
maksiat, sedangkan sekularisme hanya memberi perhatian pada mereka yang sudah
hampir sekarat akibat virus-virus tersebut; itu pun hanya memberi perhatian,
bukan menyembuhkannya!
Begitu seorang bayi lahir ke dunia, Islam mengakuinya lebih cepat daripada
orang tuanya sendiri. Sementara akta kelahiran โ yang menunjukkan
kewarganegaraan yang sah dari bayi tersebut โ belum lagi dibuat, Islam sudah
mengakuinya sebagai bagian dari umat yang satu. Setiap Muslim adalah
saudara dari Muslim lainnya. Setiap Muslim adalah ayah, saudara
laki-laki, dan anak lelakinya, sedangkan setiap Muslimah adalah ibu, saudara
perempuan, dan anak perempuannya. Jika ada nenek renta yang ditinggal
sendiri di rumahnya, masyarakat Muslim tak melempar tanggung jawab untuk merawatnya.
Janganlah heran, dahulu pernah terjadi pengepungan terhadap warga Yahudi
Madinah demi kehormatan seorang Muslimah. Ketika itu, sekelompok pemuda
Yahudi menyingkap pakaian sang Muslimah sehingga terlihat auratnya.
Seorang pemuda Muslim yang ada di sekitar situ langsung membunuh pemuda Yahudi
yang melakukan pelecehan tersebut, dan kemudian ia pun dikeroyok hingga
terbunuh juga. Keadaan darurat segera dikumandangkan, dan kabilah Yahudi
tersebut dikepung. Pelecehan terhadap Muslimah yang tidak dikenal
sebelumnya sama dengan pelecehan terhadap saudara kandung kita sendiri.
Islam tidak mengijinkan setiap orang berpikir sekuler; mereka tak boleh
memisahkan dirinya dari yang lain. Mereka harus menyadari bahwa hidupnya
hanya untuk Allah, dan Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk saling mengenal,
saling memahami dan saling menanggung beban satu sama lainnya. Itulah
sebabnya keimanan seseorang tak bisa disebut sempurna jika ia belum mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tidak perlu heran
jika ada mujahid yang sedang sekarat justru ingin mengoper minumannya
kepada saudaranya yang juga sedang sekarat. Saudaranya pun ingin mengoper
lagi minumannya, hingga ketiga mujahid itu akhirnya menghembuskan napas
terakhir sebelum sempat meneguk air.
Sekularisme menghendaki jiwa yang kerdil, kehidupan yang sempit dan kesepian
yang tak ada ujungnya, sedangkan Islam mengajarkan manusia untuk berjiwa besar,
memiliki kehidupan yang luas dan kebersamaan yang hanya dibatasi oleh umurnya
di dunia. Maka berhentilah berpikir sekuler dan tinggalkanlah cara
berpikir yang parsial dan individual, agar Anda tidak kesepian di dunia, dan
lebih kesepian lagi di akhirat.
wassalaamuโalaikum wr. wb.
copas dari Blog Malami Bookstore