by Ibnu Syahri Ramadhan on Tuesday, 13 December 2011
at 01:30
at 01:30
Sekali waktu mungkin kita
pernah berfikir untuk menarik tuas waktu kehidupan kita. Lalu terlempar
jauh ke masa lalu. Tepatnya, saat pertama kali kita berdiri di persimpangan,
lalu memutuskan untuk mengambil jalan hidup yang sekarang ini. Di sana nanti,
kita hanya ingin menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana, mengapa
dulu aku mengambil jalan ini?
pernah berfikir untuk menarik tuas waktu kehidupan kita. Lalu terlempar
jauh ke masa lalu. Tepatnya, saat pertama kali kita berdiri di persimpangan,
lalu memutuskan untuk mengambil jalan hidup yang sekarang ini. Di sana nanti,
kita hanya ingin menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana, mengapa
dulu aku mengambil jalan ini?
mustahil. Tapi pikiran semacam itulah yang kerap hadir. Biasanya, pikiran
semacam itu menghampiri, kala kita benar-benar tidak begitu menikmati
jalan hidup yang sekarang ini. Kita kehilangan semangat untuk melanjutkan
segalanya pencapaian. Seolah jejak yang telah ditapaki, bukanlah seutuhnya
kehendak kita.
kita telah memilih jalan hidup itu dengan penuh kesadaran. Ini hanyalah
perasaan yang hadir, karena kita ingin mempertegas kembali arah hidup kita.
Apakah benar jalan hidup yang kita tempuh sekarang ini, sudah sejurus
dengan tujuan hidup yang hendak kita capai.
yang kita ambil itu adalah wujud cinta kita pada orang-orang terkasih. Kita
bersedia merubah arah hidup kita, lalu merelakan diri melewati hari-hari yang
letih untuk mewujudkan kehendak orang terkasih itu.
Tak ada yang salah memang. Apalagi
pengorbanan karena cinta adalah sesuatu yang mulia. Hanya saja kita kerap lupa,
bahwa kala itu kita membutuhkan kesepakatan jiwa. Batin kita sebenarnya belum
benar-benar siap, tapi kita terlalu berani untuk memutuskan segera. Akibatnya,
batin ini kerap berbisik, Rasanya, dulu itu bukan aku.
pengorbanan karena cinta adalah sesuatu yang mulia. Hanya saja kita kerap lupa,
bahwa kala itu kita membutuhkan kesepakatan jiwa. Batin kita sebenarnya belum
benar-benar siap, tapi kita terlalu berani untuk memutuskan segera. Akibatnya,
batin ini kerap berbisik, Rasanya, dulu itu bukan aku.
asing. Kita memberi jarak sendiri antara diri kita dengan tujuan hidup.
Sehingga setiap tindakan hanyalah sekedar menuntaskan kewajiban, bukan karena
panggilan nurani.
tidak totalitas dalam berikhtiar. Karena kita belum terlebih dahulu menuntaskan
definisi bahagia yang sesungguhnya dalam diri ini. Padahal itu adalah tuntutan
jiwa yang harus dipenuhi. Sehingga hati tak bisa menerimanya. Padahal, di
sanalah terbitnya kekuatan untuk berbuat.
kegundahan dalam setiap langkah hidup ini. Kita tak perlu berpikir untuk
memutar waktu agar kembali ke masa lalu. Cukuplah merenung sejenak, lalu
memahami kehendak jiwa ini maunya apa? Diri ini mau di bawa ke mana?
ini telah kita temukan jawabannya. Maka tak ada lagi rasa bimbang untuk
melangkah, kita pun bisa lebih fokus dalam menempuh tujuan. Namun, bila
kegusaran terus menghampiri. Jalan hidup ini tak juga menemui titik terangnya.
Bisa jadi, bahwa sebenarnya, memang ada kehendak jiwa yang hingga kini belum
mampu kita fahami.
Pukul 00;59 WIB
(Kenny G, I will be home)