Masih ingat banget saat aku kecil, setiap kali selesai makan ayah pasti menyulut rokok, sambil pikirannya menerawang. Sampai aku kuliah pun ayah masih melakukan kebiasaannya tersebut.
Jangan ditanya sudah berapa kali aku menasihatinya untuk berhenti merokok, tapi ayah selalu berdalih, jika ia tak merokok maka ia tak akan bisa bekerja, kepalanya akan sakit. Maka, aku pun diam, sementara entah berapa kali sesak napas mamakku kambuh, ayah hanya menyarankan pergi ke dokter, beli jamu, minum air hangat dan lain-lain.
Atau ayah sering ngomel jika dalam belanja harian mamakku, tidak ada rokok pesanannya.
โAku yang cari kok, gak minta uang dari siapa-siapaโ
Sekarang di usianya yang beranjak senja, aku tetap tak bosan menasihatinya, apalagi sudah punya cucu. Jika ia merokok, aku akan pinta ayah merokok dalam radius 10 meter, atau tidak berada di ruangan yang sama denganku dan cucunya, sebab asapnya mau tak mau terhirup karena terbawa angin.
Ketika ayah mau deketin cucunya, aku akan suruh ayah cuci mulut dan tangan dulu. Meskipun ayah tampak berat tapi dilakukannya juga haha. Habisnya, aku mulai muak dengan sikap diam dan maklumku pada perokok meskipun ayahku sendiri.
Sejak tahu bahaya rokok lebih dalam lagi, aku mulai galak dengan perokok. Bila di angkot berpapasan dengan perokok, semakin ia kencang mengebulkan asap rokok, maka aku semakin mengencangkan ikatan masker yang aku kenakan, dia tidak peduli, sehingga aku pun lebih tak peduli lagi.
Biasanya kalau perokoknya ngerti, ada yang langsung memadamkan rokoknya, sebaliknya yang cuek mah di gas nya terus merokok di dalam angkot dengan penumpang yang padat. Bila sudah begitu ingin rasanya aku punya tongkat sihir Harry Potter, akan kubuat asap rokoknya gak ada, atau dihirup sajalah sama perokoknya.
Semenjak punya anak, aku dan suami lebih kejam lagi dengan perokok. Rumah harus steril dari perokok, jika ada tamu atau tetangga yang merokok, aku menyingkir dan membawa masuk anakku ke dalam rumah. Pokoknya kami tidak segan-segan kepada perokok.
Sebagai anak yang pernah merasakan betapa ayah lebih pilih ada uang untuk merokok daripada membayar keperluan anak-anaknya, maka aku begitu mendukung sekali dengan kampanye rokok harus mahal dan rutin mendengarkan program radio Ruang Publik KBR, setiap Rabu dari jam 09.00-10.30.
Pedih sekali rasanya jika mengingat situasi gadis kecil, adik-adikku dan mamakku karena tidak berdaya menasihati orang terdekat yang kita sayang agar berhenti merokok, mending uang rokoknya untuk memenuhi kebutuhan pokok kami.
Benar apa yang dikatakan Ibu Magdalena Sitorus, selaku Ketua Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau ( JP3T ) dalam kesempatannya jadi pembicara di ruang publik KBR, episode Selamatkan Generasi, Perempuan Dukung 50 Ribu Rupiah pada Rabu, 30 Mei 2018 lalu.
Budaya patriarki, membuat perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan dalam keluarga. Tidak punya power untuk mengingatkan suami tentang bahaya merokok, jika suaminya merokok.
Padahal jika suami atau sang tulang punggung keluarga sakit sebab merokok, maka beban perempuan jadi berlipat-lipat.
Belum lagi dalam budaya patriarki, perempuan identik dengan kodratnya untuk mengasuh dan mendidik anak, sedangkan lelaki terima beres saja, kewajiban hanya satu, CARI DUIT dan merokok.
Sedangkan kalau kata kodrat lanjut Ibu Magdalena, adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan, seperti hamil, melahirkan dan menyusui, sedangkan untuk urusan pengasuhan bisa dilakukan secara bersama-sama.
Kondisi inilah yang kadang berujung, perempuan tidak kuasa pula untuk mencegah suami bahkan anak sendiri yang juga ikutan jadi perokok.
Kalau menurut aku sih, jika yang namanya adiksi memang sulit untuk berhenti, tapi bijaklah. Merokok di tempat tersembunyi, semacam dalam goa mungkin, sehingga anak tidak melihat, merekam dan berujung meniru.
Aku dengan imaji masa kecilku, selalu penasaran, kenapa ayah begitu asyik dengan benda 9 cm di tangannya itu? Ketika aku temukan puntung rokok di dekat jemuran samping rumah, aku diam-diam mencobanya, ternyata rasanya manis, namun hiyaaaik aku batuk-batuk, gak enak.
Kemudian, saran Ibu Magdalena, yang suaranya berat tapi lembut ini, melihat fenomena usia perokok sekarang yang malah semakin muda, anak SD sudah ada yang ahli hisap alias jago merokok, orangtua idealnya punya kewajiban melindungi anaknya karena anak masih punya ketergantungan yang tinggi pada orangtua, seharusnya anak bisa dicegah untuk tidak merokok dan sebaiknya selaras juga, dalam artian niat hati hendak mengedukasi anak agar kelak tak jadi perokok tapi apa daya, justru orangtua yang malah menyuruh anak untuk membeli rokok di warung, ditambah lagi bergaul dengan warga di lingkungan sekitar yang juga perokok bahkan negara memfasilitasi iklan rokok dengan billboard terpampang nyata segede bagong di pinggir jalan.
Ayahku juga selalu mempertanyakan kemana saja uang belanja digunakan, padahal mamakku sudah memeras otak mengaturnya, termasuk alokasi membeli rokok sebagai pengeluaran yang mengambil porsi cukup besar dalam belanja harian.
Terkadang jika mamakku mengeluh soal tentang uang belanja yang tak cukup dan ayah yang doyan merokok plus ngomel. Rasanya aku ingin berubah jadi kue nastar aja, haha.
Nah, diharapkan dengan adanya kampanye perempuan dukung #rokokharusmahal yang diinisiasi lebih dari 50 tokoh wanita pada 21 April lalu,
1. Tugas perempuan dalam pengawasan anak jadi lebih ringan
2. Mengelola keuangan jadi lebih mudah, sebab pengeluaran rokok bisa ditekan.
Lebih lanjut, talkshow makin gregetan dengan hadirnya suara Mbak Ligwina Hananto dari ujung telepon. Ia seorang financial trainer dan penulis buku Untuk Indonesia yang Kuat : 100 Langkah Untuk Tidak Miskin.
Apakah Angka 50 Ribu Membuat Orang Berpikir Beli Rokok?
Mba Ligwina tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut tapi mengawalinya dengan bercerita bahwa ia sering bertemu kasus ketika masyarakat menengah ke bawah mengeluh gak bisa sekolahin anak dan ngasi makan anak, padahal jika keuangan per bulan mereka diperiksa, pengeluaran untuk beli rokok itu ada.
Sehingga dengan kampanye ini, mereka lebih pilih untuk alokasi ke kebutuhan keluarga daripada membeli rokok.
Maka, disepakatilah untuk memotong rantai pembeliannya. Sebab, membicarakan adiksi pasti sulit sekali, tapi kalau sisi keuangan disentuh, pasti orang akan menyusun prioritas seperti mengalokasikan pengeluaran untuk memberi makan keluarga yang lebih baik.
Dan kampanye ini tidak bisa berjalan maksimal, tanpa peran dialog yang dimulai dari perempuan. Berdialoglah dengan pasangan, sebab urusan adiksi seseorang sudah menjadi urusan rumah tangga.
Bisa diawali dengan mengelompokkan pengeluaran dalam 5 kategori besar, yakni pengeluaran rutin, lifestyle, cicilan, menabung dan sosial
Baca juga : Tips Menabung Ala Prita Ghozie dan Ustadz Budi Ashari
Kemudian ada hal menarik nih dari pendengar yang bertanya, bagaimana dengan wanita yang tidak bekerja dan menyikapi egoisme pasangannya sebagai pencari nafkah utama sehingga bisa leluasa membeli rokok, bisa terjadi gontok-gontokan nih dalam rumah tangga?
Pertanyaan cerdas nih, karena kenyataannya seperti itu ya, apalagi yang terjadi dalam keluargaku, syukurnya emakku sabaaaaar banget huhu.
Lalu Mba Ligwina merespon pertanyaan dengan lugas, tampak lah ia begitu sering berhadapan dengan kasus yang sama di lapangan.
1. Cekcok yang berujung gontok-gontokan dalam rumah tanggan tidak selalu disebabkan permasalahan rokok, karena masalah lain juga bisa memicu kisruh rumah tangga.
2. Pasti ada yang salah dengan komunikasi pasutri nya, sehingga masalah uang menjadi akumulasi dari permasalahan rumah tangga yang lain dan tidak selesai selama ini.
Setuju, intinya perbaiki komunikasi pasutri nih. Oleh Ibu Magdalena menambahkan, jika kasus violence beneran terjadi dalam rumah tangga, sekarang ini ada banyak ruang pengaduan perempuan.
Gak berasa sudah mau closing saja talkshow ruang publik KBR kali ini, dan penutupnya juga cetar, yakni merespon pertanyaan pendengar apa yang jadi ukuran sehingga angka penetapan #rokok50Ribu rupiah adalah yang terbaik untuk saat ini?
Dengan angka yang kecil ini kata Mba Ligwina, memiliki efek besar, yakni terjadi dialog atau komunikasi pasutri, tentang bagaimana manajemen keuangan keluarga harus berjalan dikarenakan kenaikan harga rokok, apakah bisa distop saja dan dialokasikan ke pengeluaran penting lainnya.
Ya Allah, ternyata goal kampanye ini gak muluk-muluk ya, kita keluarga Indonesia, tidak dibiasakan berkomunikasi baik dan benar, sehingga sering terjadi pengambilan keputusan secara sepihak dalam keluarga yang akhirnya belum tentu membuat seluruh anggota keluarga nyaman, yang ada malah tersiksa, dalam hal ini perempuan dan anak-anak.
Perempuan, mari tampil menjadi komunikator ulung, paling gak untuk keluarga kita.
Selain itu lanjut Ibu Magdalena, keputusan harga 50 ribu bukan tanpa proses, ada survei sebelumnya. Hasil survei menunjukkan 80% masyarakat mendukung harga 50 ribu dan tentu saja kampanye ini akan berkelanjutan termasuk dengan ikut mengisi petisi di change.org/rokokharusmahal.
Semoga Bermanfaat!